ASSALAMU ALAIKUM WR.WB...

PARA PECINTA

Selasa, 02 Maret 2010

Rumi

Jalaluddin Rumi: Puncak Gunung Paling Tinggi Puisi Sufi

Diarsipkan di bawah: Kritik — jamaldrahman @ 10:57 am

Oleh Jamal D. Rahman

Dia penyair sufi terbesar Persia. Dia salah seorang penyair terkemuka dunia. Dikenal dan berpengaruh di Barat dan Timur hingga kini, namanya terpahat kuat di hati dunia yang mencintai dunia tasawuf, spiritualitas, ketuhanan, cinta, dan puisi. Dia menarik perhatian dunia terutama karena wawasan tasawufnya yang begitu dalam, universal, dan tetap relevan, sebagaimana tercermin dalam perjalanan hidup dan karya-karyanya. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Barat dan Timur, termasuk Indonesia. Dia mengilhami kebudayaan dunia. Dia duta cinta sepanjang masa.

Jalaluddin Rumi adalah sosok pencari jalan spiritual yang tak pernah berhenti. Nama Rumi dinisbahkan kepada sufi agung ini karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Anatolia, Turki, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Di sinilah dia mengukuhkan dirinya sebagai guru spiritual yang sangat berpengaruh. Dia dipanggil Maulana Jalaluddin Rumi, Yang Mulia atau Tuan Guru Jalaluddin Rumi. Di sini pula dia meletakkan dasar-dasar baru jalan spiritual, yaitu melalui tari dan musik, yang kemudian dikenal dengan jalan Maulawiyah –jalan sang Maulana Rumi.

Lahir di Balkh, Khurasan, Afghanistan sekarang, 30 September 1207 (6 Rabi’ul Awwal 604 H), Jalaluddin Rumi tumbuh dari keluarga terpandang. Ayahnya, Muhammad ibnu Hussain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka di Balkh, sedangkan ibunya, Mu’min Khatun, berasal dari keluarga Dinasti Khawarizmi, dinasti yang berkuasa dengan ibukota Bukhara saat itu. Adapun Balkh, adalah salah satu kota penting, pusat intelektual dan kebudayaan Persia pada Dinasti Khawarizmi.

Keluarga Rumi adalah pengembara. Ketika Rumi baru 7 tahun, keluarganya hijrah ke Khurasan, dan tak lama kemudian hijrah ke Nisyapur. Ketika Rumi 12 tahun, mereka hijrah ke Baghdad. Setelah beberapa lama tinggal di kota Seribu Satu Malam itu, mereka hijrah lagi ke Makkah, kemudian Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki sekarang, yang ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Saljuk.
Menjelang keluarga Rumi hijrah ke Baghdad, Balkh dan kota-kota Persia lainnya bukanlah kota yang tenang. Di seberang Dinasti Khawarizmi, Dinasti Mongol sedang giat-giatnya melancarkan serangan ke mana-mana secara membabibuta guna meluaskan wilayah kekuasaanya. Setelah sebelumnya menaklukkan Cina, kini Dinasti Mongol yang begitu perkasa mengincar Dinasti Khawarizmi. Tersiar luas kabar bahwa Persia akan segera dicaplok dengan cara bengis sebagaimana dilakukan pasukan Mongol terhadap Cina dan daerah-daerah lain. Dan benar. Tak lama kemudian pasukan Mongol menyerang dan membumihanguskan Balkh. Juga kota-kota Persia terkenal lainnya, seperti Bukhara dan Samarkand.

Tetapi Rumi dilahirkan memang tidak untuk merebut kembali kota kelahirannya dan membangunnya kembali dari kehancuran. Dia meninggalkan kota kelahirannya dengan membawa biru apinya yang terus menyala-nyala dalam hatinya. Biru api khazanah kebudayaan Persia yang kelak akan menyalakan dunia batinnya ketika disulut api Cinta Ilahi, hingga demikian bercahaya di tempat lain, Konya, tempat yang jauh dari Balkh, Samarkand, Bukhara, bahkan dari Persia itu sendiri. Dalam sebuah puisinya, Rumi berdendang dengan haru-biru:
Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih –sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara –sebentar saja!

Puisi ini pastilah merefleksikan kecintaan sekaligus kerinduan Rumi akan kampung halamannya, yang telah lama ditinggalkan. Ia tahu kampung halamannya sudah luluh-lantak dan jadi bumi-hangus di tangan-bengis gerombolan orang-orang Mongol. Dan sejarah tak mungkin lagi ditarik mundur. Maka dia memanggil orang-orang berkumpul di rumahnya, baik dalam pengertian harfiah maupun metaforis, dan dari sana bersama-sama memancarkan cahaya cinta ke kampung halaman yang telah luluh-lantak itu, sebentar saja. Tapi dalam konteks puisi-puisi Rumi, yang dia ajak untuk bersama-sama memancarkan cinta ke Samarkand dan Bukhara adalah Tuhan. Dengan demikian, puisi tersebut merupakan ungkapan cinta dan rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya nun jauh di masa silam yang hancur.

Sebagai pengembara, Rumi mereguk berbagai disiplin ilmu dari beberapa guru terkemuka di kota-kota tempatnya pernah tinggal. Tinggal beberapa lama di kawan Arab, terutama Makkah dan Damaskus, dia belajar sastra Arab hingga mahir menulis puisi dalam bahasa itu. Sudah tentu dia juga belajar ilmu-ilmu Islam. Apalagi ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, adalah juga seorang ulama terpandang. Tak pelak lagi, ketika tiba di Konya, Sultan Konya yang cinta ilmu dan seni menyambut kedatangan keluarga Rumi dengan baik. Bahauddin Walad dipercaya sebagai ahli fiqih, mubalig, dan mengajar di madrasah kesultanan, hingga dia wafat di tahun 1230.

Jalaluddin Rumi segera menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, dia telah menikah dan dikaruniai 2 anak. Anak pertamanya diberi nama Sultan Walad, yang kelak juga menjadi seorang sufi dan memperkenalkan beberapa segi kehidupan Jalaluddin Rumi yang unik. Anak keduanya bernama Alauddin, yang merupakan nama saudara laki-laki Jalaluddin Rumi yang meninggal di Konya. Hingga saat itu, tampaknya Rumi tidak begitu berminat pada segi-segi sufistik dari kehidupan dan pemikiran ayahnya.

Setahun setelah Bahauddin Walad wafat, Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi tiba di Konya. Burhanuddin adalah murid Bahauddin Walad di Balkh. Tahu gurunya sudah meninggal, kepada Jalaluddin Rumi yang adalah anak sang guru, Burhanuddin mengajarkan ajaran-ajaran sufistik sang guru dan beberapa sufi lain. Burhanuddin juga membimbing Rumi melakukan latihan-latihan spiritual sebagaimana dipraktekkan oleh para sufi –mereka yang mengabdikan diri bagi kehendak untuk menyatu dengan Tuhan.

Sekitar 10 tahun di bawah bimbingan Burhanuddin, minat Rumi pada tasawuf dan cinta Ilahi sedemikian bergairah. Dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengalami setiap maqam (tingkatan spiritual) kehidupan tasawuf. Maka, setelah Burhanuddin wafat di tahun 1240, Jalaluddin Rumi memangku jabatan sebagai guru spiritual (syaikh) persaudaraan sufi. Mulailah dia membangun persaudaraan spiritual dimana para pengikutnya terus bertambah dan lingkup pengaruh penyair sufi ini semakin luas. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian dikenal dengan Tarekat Maulawiyah.

Pesona Rumi memancar pula dari ritual meditasi persaudaraan kerohanian ini. Musik dan tarian berputar merupakan ritual mereka yang sangat khas, dan tetap hidup hingga sekarang di beberapa daerah di Timur Tengah, negara-negara Balkan, bahkan Eropa. Di samping itu, bentuk ritual Maulawiyah telah pula mengilhami beberapa aktivitas seni-budaya di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hingga hari ini.

Sudah 800 tahun kini (2007) riwayat Jalaluddin Rumi membentang dari Persia, Arabia, Turki, hingga Eropa dan benua-benua lain. Para pengikutnya mengamalkan ajaran-ajarannya; para sarjana meneliti pandangan dan karya-karyanya; para seniman menimba inspirasi dari kedalaman rohani dan keluasan wawasannya; dan dunia modern memetik hikmah dari kearifannya.

Rumi wafat di Konya pada 16 Desember 1273 (5 Jumatil Akhir 672 H). Kepergiannya ditangisi oleh banyak pengikut dan pengagumnya yang berlatar belakang agama berbeda-beda. Bukan saja karena dia sufi besar dan, seperti dikatakan A.J. Arberry, “puncak gunung yang paling tinggi dalam bentangan luas perpuisian sufi”, melainkan juga karena “dia benar-benar mampu membuktikan diri sebagai sumber inspirasi dan kebahagiaan yang tidak terlampaui oleh banyak penyair lainnya dalam kesusastraan dunia.”

Sebagaimana Nabi Muhammad Saw, Jalaluddin Rumi adalah pecinta kucing. Dia pun memelihara seekor kucing yang cantik. Ketika Rumi wafat, kucing kesayangannya mengeong sedih menatap sang tuan tergolek di ranjang kematian. Tapi bagi Rumi, suara meongnya pastilah bukan tangis kehilangan karena kepergian tuannya. Tangis kucing itu adalah raung pedih kerinduan seekor kucing akan dunia asalnya.

Kucing itu tidak mau makan sejak sang tuan mangkat, seakan tidak rela tak diajak sang tuan pergi ke dunia asal. Dan ia pun turut mati seminggu kemudian. Malika Khatun, anak-perempuan Rumi dari Kira Khatun, istri kedua yang dinikahi Rumi setelah istri pertamanya meninggal, menguburkannya di sisi kuburan sang ayah, sebagai lambang kedekatan sang penyair dengan binatang dan semua makhluk, sebab dia adalah sahabat Sang Pencipta.

Gerbang Taman Rohani
Puisi-puisi Jalaluddin Rumi tidak lahir dari proses intuisi kepenyairan biasa. Bagaimanapun, pertama-tama dia adalah seorang sufi, seorang yang diharu-biru oleh kehendak untuk bersatu dengan Tuhan. Maka dorongan menulis puisi bukan pertama-tama karena bakat kepenyairannya, melainkan karena dorongan dahsyat pengalaman rohaninya yang meluap-luap dan tak terbendung untuk menyatakan diri. Rumi adalah gunung berapi, dimana magma spiritualnya sedemikian aktif dan bergolak terus-menerus hingga memuntahkan lahar puisi yang bisa menyuburkan tanah-tanah spiritual yang disentuhnya.

Pengalaman rohani pastilah merupakan sesuatu yang tak terbatas, tak terumuskan, tak terlukiskan. Kini ia harus mengekspresikan diri lewat bahasa puisi, medium yang amat terbatas itu. Dalam konteks ini Jalaluddin Rumi adalah sebuah paradoks: ketakberhinggaan pengalaman rohaninya dilukiskan dalam keberhinggaan bahasa puisinya. Namun puisi-puisinya yang berhingga justru memperlihatkan ketakberhinggaan pengalaman rohaninya.

Inilah yang terjadi: puisi Rumi adalah puisi ekstatis saat sang sufi berada di dunia spiritual yang sedemikian mengharu-biru, yang sekali keluar dari mulut sang sufi akan mengalir deras seakan tak bisa dihentikan. Puisi-puisi itu dirangsang oleh musik dan tarian-berputar yang menghanyutkan batin sang sufi, dan menariknya ke pusat Cinta Ilahi yang menyediakan seluruh tenaga dan keindahan rohaninya. Puisi-puisi itu direkam murid-muridnya dengan baik.

Musik, tarian-berputar, dan puisi. Itulah medium melalui mana Rumi merangsang dan mengekspresikan pengalaman rohaninya.

Sebenarnya, bagi Rumi sendiri, puisi dan penyair sedikit-banyak merupakan sesuatu yang ganjil. Sebab, Al-Quran dalam beberapa ayatnya secara eksplisit memperlihatkan ketidaksukaannya pada profesi penyair dan puisi. Tapi Rumi pasti tahu, ketidaksukaan Al-Quran kepada puisi dan penyair berakar pada fakta bahwa dalam masyarakat Arab pra-Islam puisi selalu dihubungkan dengan ilmu sihir dan perbuatan amoral yang tidak dikehendaki oleh Islam, seperti minum minuman memabukkan dan percintaan birahi yang bebas. Maka itu, Rumi tahu bagaimana bisa menyelamatkan diri dari kecaman Al-Quran terhadap puisi-puisinya yang melimpah dan dirinya sendiri sebagai penyair sufi.

Apa yang mengaktifkan magma spiritual Rumi hingga sedemikian menggelegak, hingga pula dari sana lahir sekitar 40.000 puisi liris dan lebih dari 20.000 puisi didaktis?

Pertemuan Rumi dengan pada sufi, baik langsung maupun tidak, pastilah memberikan pengaruh besar pada kehidupan rohaninya. Terutama ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, dan Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi, murid ayahnya yang kemudian menjadi pembimbing intelektual dan spiritualnya selama sekitar 10 tahun. Mereka menyiapkan sekaligus memuluskan jalan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya.

Momen yang paling menentukan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya adalah ketika di tahun 1244 seorang sufi pengembara tiba di Konya. Namanya Syamsuddin at-Tabrizi, yang berarti Matahari Agama dari Tabriz. Dalam diri sufi inilah Rumi menemukan bayangan sempurna Kekasih Tuhan yang telah lama dicarinya. Bagi Rumi, dia adalah matahari yang membakar jiwanya, menyalakan hatinya, menariknya ke dalam pusat kesempurnaan Cinta Ilahi, dan mengubah hidupnya. Dia adalah pribadi penuh pesona rohani, kepada siapa Rumi mengidentifikasikan diri berulangkali.

Mereka tinggal bersama selama satu atau dua tahun, bersama-sama mengarungi samudera rohani dan melaju kencang di lautan Cinta Ilahi. Rumi berdendang: … jiwaku menaiki kereta Syamsi Tabriz yang lari kencang bagaikan perahu melaju di lautan yang tenang. Sejak itu, Rumi tak bisa dipisahkan dari mataharinya. Dia tenggelam dalam pesona rohaninya yang begitu bercahaya: … Tabriz! Jika Syamsuddin muncul dari zodiakmu, mendung pun akan menyerupai bulan, dan bulan akan lebih bersinar-sinar. Sedemikian terpesona Rumi pada mataharinya, hingga dia menghentikan kegiatan mengajar dan diskusi bersama murid-muridnya. Dia benar-benar menaiki kereta Syamsi Tabris —sebagaimana dikatakannya sendiri— nyaris secara harfiah.

Tentu saja murid-muridnya kehilangan kesempatan belajar dan berdialog dengan Rumi, sebagaimana berlangsung selama beberapa tahun sebelum kedatangan tamu asing tak diundang itu. Mereka pun cemburu, dan beredar suara-suara miring tentang sang sufi. Tahu bahwa mereka cemburu, mungkin juga tidak tahan mendengar suara-suara miring tentang dirinya, pada tahun 1247 Syamsi Tabris menghilang dari Konya, Turki sekarang, kota dimana Rumi tinggal.

Ketika kemudian terdengar kabar Syamsi berada di Damaskus, Rumi segera mengutus anaknya, Sultan Walad, menjemput sufi itu dan membawanya kembali ke Konya. Tak terlukis kebahagiaan Rumi ketika dia lihat Syamsi benar-benar kembali. Dia tak ingin lagi berpisah dengan mataharinya. Maka Rumi mengawinkan gurunya itu dengan seorang gadis yang dibesarkan dalam keluarganya. Tapi api kecemburuan keluarga dan murid-murid Rumi belum padam benar. Desas-desus negatif tentang Syamsi kini terdengar lebih santer lagi. Dan, kali ini dia benar-benar hilang. Tak pernah kembali lagi.

Rumi menangis. Bagi dia, apalah arti hidup tanpa sang matahari. Siapa lagikah yang mampu menyalakan rohani dan membakar Cintanya? Diwan-i Syams-i Tabriz (Lirik-lirik Syamsi Tabriz) adalah puisi Rumi yang merupakan persembahan rohani bagi sahabat sekaligus guru spiritualnya yang telah pergi tanpa jejak itu. Nada kesedihan dalam puisi-puisi Rumi berjalin-berkelindan dengan nada riang. Sebab, sebagaimana kehilangan mengandaikan sebuah pertemuan, kesementaraan mengandaikan keabadian. Begitulah maka perasaan berpisah dengan sang matahari secara rohani tak lain merupakan pertemuan-tak-terpisahkan; kebersamaan yang singkat adalah kebersamaan abadi.

Apalagi, Rumi sebenarnya kini sudah benar-benar matang secara rohani. Rasa sesal dan kerinduannya pada sang matahari tersublimasi sedemikian rupa, menjadi jalan bagi dunia batin Rumi sendiri dalam proses penghayatan tentang, dan penyatuan esensial dengan Tuhan. Puisi dan risalah Rumi segera memancarkan cahaya rohani, wawasan tasawuf, dan renungan sufistiknya yang amat dalam dan luas. Syamsi Tabriz tak lain hanyalah kunci pintu gerbang kerohanian Rumi sendiri yang sesungguhnya sudah siap dibuka.

Setelah pintu gerbang itu terbuka, kunci boleh hilang. Pastilah ada rasa sesal dengan kunci yang hilang, tapi bagaimanapun Rumi bisa berjalan-jalan sendiri tanpa tersesat mengitari taman rohaninya yang luas, lapang, dan rimbun. Di taman itu, Rumi mendendangkan puisinya (puisi-puisi Rumi dalam tulisan ini diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.):
Ada taman indah, penuh pepohonan lebat
Anggur dan rerumputan menghijau
Seorang sufi duduk sambil memejamkan mata
Kepalanya tunduk, karam dalam tafakur.
Seseorang bertanya, “Hai, mengapa tidak kau lihat
Tanda-tanda Yang Maha Pengasih di sekelilihgmu
Yang dititahkan oleh-Nya untuk direnungkan?”
Sufi itu menjawab, “Tanda-tanda-Nya terbentang
Pula dalam diriku, yang ada di luar
Hanyalah lambang dari Tanda-tanda.”

Kehidupan rohani Rumi yang dipupuk terus-menerus telah melahirkan puisi sufistik yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun mutu. Tapi perlu diingat bahwa sebelumnya Rumi bagaimanapun telah mempelajari dengan baik sastra tradisional Persia dan Arab. Wawasan dan kemampuan teknis sastra tampaknya telah mendarah-daging dalam tubuh Rumi. Yang diperlukan selanjutnya adalah persyaratan paling penting seorang penyair: kedalamanan penghayatan dan renungan tentang makna hidup dan kearifan-kearifan universal. Dan Rumi telah mencapainya dengan gemilang.

Cinta Sejati Jalauddin Rumi
Membaca puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah membaca Cinta —Cinta dengan C besar. Penyair sufi asal Persia yang kemudian menetap di Turki hingga akhir hayatnya ini tampak begitu menghayati arti Cinta, menemukan maknanya yang begitu dalam, sekaligus meyakininya sebagai dasar utama kehidupan. Baginya, tak ada kehidupan tanpa Cinta. Karena itu, dia mengembangkan arti Cinta dan mengarahkannya sebagai prinsip metafisis sekaligus sebagai dasar konkret kehidupan-sementara menuju kehidupan-abadi.

Sebagai sufi, sudah tentu Rumi menulis banyak tema dalam puisi dan risalah tasawufnya, yaitu tema-tema utama —termasuk spekulasi filosofis— dalam dunia tasawuf dan filsafat. Misalnya, dia berbicara tentang esensi wujud tunggal yang menyatakan diri dalam wujud jamak, transendensi dan imanensi Tuhan, manifestasi-abadi Tuhan melalui penciptaan, dan lain-lain. Tetapi semua itu lebih merupakan keterlibatan Rumi secara intelektual dalam polemik yang mengasyikkan di kalangan ilmuwan Muslim hingga abad ke-13. Pada akhirnya, Rumi memiliki sistem berpikirnya sendiri yang dibangun melalui pengalaman spiritual dan intelektualnya.

Sudah tentu juga gagasan utama Rumi adalah hasrat spiritual untuk bersatu dengan Tuhan, dilandasi asumsi-asumsi metafisis dan spekulatif sebagaimana berkembang dalam tasawuf dan filsafat, dan diperkuat oleh imajinasi kreatifnya sendiri. Pandangan Rumi tentang Cinta untuk sebagian menjelaskan hasrat tersebut.

Dalam menjelaskan pandangannya tentang Cinta, Rumi menggunakan banyak sekali metafor. Yang sangat terkenal di antaranya adalah seruling. Menurutnya, suara seruling adalah lagu pedih keterpisahan seruling itu sendiri dari tempat asalnya, yaitu rumpun bambu yang rimbun. Di samping itu, suara seruling adalah nyanyi rindu dendam sang seruling untuk bersatu kembali dengan rumpun bambu tempatnya berasal. Begitulah Rumi melukiskan derita dan rindu dendam roh manusia pada Penciptanya.

Dalam puisinya yang lain tentang seruling, Rumi melukiskan lebih jauh hubungan manusia dan Tuhan. Katanya, kami adalah suling dan musik dalam diri kami berasal darimu; kami seumpama gunung, dan gaung dalam diri kami berasal darimu. Jadi, di sini bukan saja seruling yang berasal dari Tuhan. Musik yang dialunkan seruling itu sendiri juga berasal dari Tuhan. Sejalan dengan itu, gunung dan gaung di dalamnya adalah juga berasal dari Tuhan. Itu berarti, apa pun alunan musik seruling, lagu pedih ataukah lagu riang, berasal dari Tuhan juga. Apa pun gaung dalam gunung, apakah pertanda rahmat atau laknat, tak lain berasal dari Tuhan jua.

Seruling dan musik merupakan unsur sangat penting dalam kehidupan Rumi. Keduanya bukan saja metafor dalam puisi, melainkan juga medium pengembaraan rohani. Rumi tidak saja memandang musik sebagai sesuatu yang bersifat temporal dan profan. Lebih jauh, mendengarkan musik temporal dia membayangkan suara alam semesta dan terutama musik yang mengalun abadi di sorga. Itulah sebabnya, musik dapat menghubungkan roh manusia dengan alam ketuhanan. Musik dapat melambungkan jiwa manusia mencapai tingkat kesucian dan ketinggian yang kekal. Musik dapat membakar hati manusia dan membangkitkan Cinta yang menggelora untuk mencapai sorga.

Tapi alam semesta tak cuma mengalunkan musik. Alam semesta adalah juga komposisi gerak yang sangat kompleks sebagai tarian sakral yang menakjubkan. Tarian itu berupa putaran-putaran ritmis dengan titik sumbu yang tertata rapi secara ajaib. Tidaklah mengherankan kalau Rumi juga menjadikan tarian-berputar sebagai medium pengembaraan rohani. Rumi menulis dengan indah:
Baling-baling langit, dengan segenap keindahan dan keajaibannya, berputar mengitari Tuhan seperti jentera.
Rohku demikian pula, tawaf di Ka’bah; begitulah pengemis ini mengitari pemberian dan karunia.
Perjalanan bola mengelilingi lapangan permainan-Nya; itulah yang membuatmu bahagia dan tidak berdaya.
….

Demikianlah hubungan manusia dan Tuhan. Musik mengekspresikan hubungan penciptaan melalui mana jiwa manusia dibakar api rindu dan Cinta terhadap sumbernya, sekaligus menghubungkan dunia manusia yang terbelenggu dengan dunia sorga yang suci lagi merdeka. Sementara itu, tarian-berputar mengekspresikan kenikmatan, ketakberdayaan, dan kepasrahan pada Tuhan sebagai pusat perputaran baling-baling langit jiwa manusia bersama alam semesta.

Dalam pola hubungan itu, di manakah Cinta? Bagi Rumi, Cinta adalah dasar yang memungkinkan hubungan-hubungan tersebut berlangsung. Tanpa Cinta, pola hubungan menakjubkan dan indah namun menyakitkan itu adalah mustahil. Manusia akan merindukan Tuhan dan menari mengitari-Nya manakala api Cinta menggelora di dalam jiwanya. Tetapi api Cinta tak akan menggelora dalam jiwa manusia tanpa Tuhan memberikan percikan api Cinta-Nya kepada manusia itu sendiri. Begitulah maka, kata Rumi, “Bila cinta Tuhan menyala dalam hatimu, tentu Tuhan telah mencintaimu.” Dalam sebuah tamsil, Rumi mengibaratkan hubungan percintaan ini sebagai tepukan, dimana tepukan tak akan terjadi hanya dengan sebelah tangan. Dengan demikian, pola hubungan itu adalah hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai.

Dari sini Rumi menurunkan pola berpasangan sebagai derivasi primordial dari hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai. Rumi menyebut pola berpasangan itu sebagai hikmah Tuhan. Langit dan bumi adalah pasangan laki-perempuan yang dikemukakan Rumi:

Di mata orang arif, Langit adalah lelaki dan Bumi adalah perempuan
Bumi menerima saja apa yang diturunkan Langit ke haribaan dan rahimnya
Jika bumi kurang panas, Langit mengirimkan panas
Jika bumi kurang segar, Langit menyegarkan bumi yang lembab
Langit berputar menurut sumbunya, bagaikan suami mencari nafkah bagi istrinya
Dan Bumi sibuk mengurus rumah: ia menunggui dan menyusui bayi yang dilahirkan

Tanpa Bumi apakah Langit bisa menghasilkan air dan panas?
….

Dan, dengan Tuhan memberikan nafsu birahi pada laki dan perempuan, mereka akan saling mencinta dan menyatu. Dengan cara itu, kata Rumi, dunia terselamatkan.

Rumi menyadari adanya paradoks atau kontradiksi dalam Cinta, yaitu keindahan dan kesengsaran, kemesraan dan kepedihan. Seperti suara seruling yang memperdengarkan suara pedih di balik kemerduannya. Atau sebaliknya, menyuarakan nyanyian merdu namun dengan nada perih. Seorang pencinta harus siap menerima keduanya. Bagi Rumi, kesengsaraan dan kepedihan adalah proses dialekstis untuk mencapai kebahagiaan. Maka bagi pencinta sejati, kesengsaraan, kepedihan, dan rindu-dendam justru merupakan kenikmatan. Kesengsaraan bukanlah penghinaan.

Rumi mencontohkan buncis yang direbus. Ketika air mendidih, buncis melompat-lompat ke permukaan air, merintih kesakitan. Kepada juru rebus dia bertanya, “Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
“Aku tidak menyiksamu. Aku merebusmu sebab aku mencintaimu. Dengan cara ini engkau akan terasa lezat dan bergizi.”

Rumi sendiri merasa dikuasai oleh Cinta yang amat dahsyat. Cinta sedemikian rupa bagai magnet yang menarik jiwanya bukan saja untuk mendekat, melainkan untuk menyatu sepadu-padunya. Dalam pada itu, api Cinta berkobar-kobar dalam hatinya siang-malam, membakar jiwanya dengan api rindu yang tak tertahankan. Dan dia percaya kematian adalah jalan menuju Cinta hakini dan abadi: … jika kaulihat iring-iringan pembawa jenazahku lewat, jangan berkata, “Dia telah pergi! Dia telah pergi selamanya!” Saat itu bagiku adalah saat bersatu dan berhadapan muka/ Ketika jenazahku kaubaringkan dalam kubur, jangan berkata, “Selamat jalan! Selamat jalan!” Kuburan hanyalah tirai pembatas sebelum bersatu lagi dengan sorga….

Tetapi, sejauh itu Rumi sesungguhnya tidak yakin dengan pandangannya sendiri tentang Cinta. Dia meragukan kemampuan akal dan pikiran dalam memahami Cinta, bahkan meragukan pula pemahamannya melalui imajinasi kreatifnya yang amat kaya. Yang dia yakini hanya bahwa Cinta pada akhirnya akan membimbing kita ke hadirat-Nya. Menurut Rumi, Cinta sendirilah yang dapat menerangkan apa itu cinta./ Bukankah seperti matahari, hanya matahari itu sendiri/ dapat menjelaskan apa itu matahari. Dengan kata lain, apa pun rumusan tentang Cinta-sejati bagaimanapun bersifat relatif belaka. Yang memahami dengan akurat Cinta hanyalah Cinta itu sendiri.

Di sini kita diingatkan pada salah satu nama Tuhan dalam Asmaul Husna, yaitu Al-Wadûd (Maha Pencinta). Sebagai Maha Pencinta, Tuhan pastilah memercikkan sebagian api cinta-Nya kepada manusia. Karena api Cinta yang tumbuh dalam jiwa manusia berasal dari Tuhan, maka ia senantiasa mengarahkan dirinya ke tempat asalnya. Dalam arti itu maka Tuhan sekaligus adalah Yang Dicintai. Pada puncaknya, Tuhan sesungguhnya tak lain tak bukan adalah Cinta Abadi, Cinta Sejati, yang senantiasa memancarkan diri-Nya kepada seluruh makhluk-Nya.***













SEBERAPA JAUH ENGKAU DATANG!

Sesungguhnya, engkau adalah tanah liat. Dari bentukan mineral, kau menjadi sayur-sayuran. Dari sayuran, kau menjadi binatang, dan dari binatang ke manusia. Selama periode ini, manusia tidak tahu ke mana ia telah pergi, tetapi ia telah ditentukan menempuh perjalanan panjang. Dan engkau harus pergi melintasi ratusan dunia yang berbeda.

EMPAT LAKI-LAKI DAN PENERJEMAH

Empat orang diberi sekeping uang.
Pertama adalah orang Persia, ia berkata, “Aku akan membeli anggur.”
Kedua adalah orang Arab, ia berkata, “Tidak, karena aku ingin inab.”
Ketiga adalah orang Turki, ia berkata, “Aku tidak ingin inab, aku ingin uzum.”
Keempat adalah orang Yunani, ia berkata, “Aku ingin stafil.”
Karena mereka tidak tahu arti nama-nama tersebut, mereka mulai bertengkar. Mereka memang sudah mendapat informasi, tetapi tanpa pengetahuan.
Orang bijak yang memperhatikan mereka berkata, “Aku tidak dapat memenuhi semua keinginan kalian, hanya dengan sekeping uang yang sama. Jika kalian jujur percayalah kepadaku, sekeping uang kalian akan menjadi empat; dan keempatnya akan menjadi satu.”
Mereka pun tahu bahwa sebenarnya keempatnya dalam bahasa masing-masing, menginginkan benda yang sama, buah anggur.

AKU ADALAH KEHIDUPAN KEKASIHKU

Apa yang dapat aku lakukan, wahai ummat Muslim?
Aku tidak mengetahui diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi,
bukan Majusi, bukan Islam.
Bukan dari Timur, maupun Barat.
Bukan dari darat, maupun laut.
Bukan dari Sumber Alam,
bukan dari surga yang berputar,
Bukan dari bumi, air, udara, maupun api;
Bukan dari singgasana, penjara, eksistensi, maupun makhluk;
Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqseen;
Bukan dari kerajaan Iraq, maupun Khurasan;
Bukan dari dunia kini atau akan datang:
surga atau neraka;
Bukan dari Adam, Hawa,
taman Surgawi atau Firdaus;
Tempatku tidak bertempat,
jejakku tidak berjejak.
Baik raga maupun jiwaku: semuanya
adalah kehidupan Kekasihku …

BURUNG HANTU DAN ELANG RAJA

Seekor elang kerajaan hinggap di dinding reruntuhan yang dihuni burung hantu. Burung-burung hantu menakutkannya, si elang berkata, “Bagi kalian tempat ini mungkin tampak makmur, tetapi tempatku ada di pergelangan tangan raja.” Beberapa burung hantu berteriak kepada temannya, “Jangan percaya kepadanya! Ia menggunakan tipu muslihat untuk mencuri rumah kita.”

DIMENSI LAIN

Dunia tersembunyi memiliki awan dan hujan,
tetapi dalam jenis yang berbeda.
Langit dan cahaya mataharinya, juga berbeda.
Ini tampak nyata,
hanya untuk orang yang berbudi halus –
mereka yang tidak tertipu oleh kesempurnaan dunia yang semu.

MANFAAT PENGALAMAN

Kebenaran yang agung ada pada kita
Panas dan dingin, duka cita dan penderitaan,
Ketakutan dan kelemahan dari kekayaan dan raga
Bersama, supaya kepingan kita yang paling dalam
Menjadi nyata.

KESADARAN

Manusia mungkin berada dalam keadaan gembira, dan manusia lainnya berusaha untuk menyadarkan. Itu memang usaha yang baik. Namun keadaan ini mungkin buruk baginya, dan kesadaran mungkin baik baginya. Membangunkan orang yang tidur, baik atau buruk tergantung siapa yang melakukannya. Jika si pembangun adalah orang yang memiliki pencapaian tinggi, maka akan meningkatkan keadaan orang lain. Jika tidak, maka akan memburukkan kesadaran orang lain.

DIA TIDAK DI TEMPAT LAIN

Salib dan ummat Kristen, ujung ke ujung, sudah kuuji.
Dia tidak di Salib.
Aku pergi ke kuil Hindu, ke pagoda kuno.
Tidak ada tanda apa pun di dalamnya.
Menuju ke pegunungan Herat aku melangkah,
dan ke Kandahar Aku memandang.
Dia tidak di dataran tinggi
maupun dataran rendah. Dengan tegas,
aku pergi ke puncak gunung Kaf (yang menakjubkan).
Di sana cuma ada tempat tinggal
(legenda) burung Anqa.
Aku pergi ke Ka’bah di Mekkah.
Dia tidak ada di sana.
Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filosuf
Dia ada di luar jangkauan Avicenna …
Aku melihat ke dalam hatiku sendiri.
Di situlah, tempatnya, aku melihat dirinya.
Dia tidak di tempat lain.

KAU DAN AKU

Nikmati waktu selagi kita duduk di punjung, Kau dan Aku;
Dalam dua bentuk dan dua wajah — dengan satu jiwa,
Kau dan Aku.
Warna-warni taman dan nyanyian burung memberi obat keabadian
Seketika kita menuju ke kebun buah-buahan, Kau dan Aku.
Bintang-bintang Surga keluar memandang kita –
Kita akan menunjukkan Bulan pada mereka, Kau dan Aku.
Kau dan Aku, dengan tiada ‘Kau’ atau ‘Aku’,
akan menjadi satu melalui rasa kita;
Bahagia, aman dari omong-kosong, Kau dan Aku.
Burung nuri yang ceria dari surga akan iri pada kita –
Ketika kita akan tertawa sedemikian rupa; Kau dan Aku.
Ini aneh, bahwa Kau dan Aku, di sudut sini …
Keduanya dalam satu nafas di Iraq, dan di Khurasan –
Kau dan Aku.

AKAN JADI APA DIRIKU?

Aku terus dan terus tumbuh seperti rumput;
Aku telah alami tujuhratus dan tujuhpuluh bentuk.
Aku mati dari mineral dan menjadi sayur-sayuran;
Dan dari sayuran Aku mati dan menjadi binatang.
Aku mati dari kebinatangan menjadi manusia.
Maka mengapa takut hilang melalui kematian?
Kelak aku akan mati
Membawa sayap dan bulu seperti malaikat:
Kemudian melambung lebih tinggi dari malaikat –
Apa yang tidak dapat kau bayangkan.
Aku akan menjadi itu.

KEBENARAN

Nabi bersabda bahwa Kebenaran telah dinyatakan:
“Aku tidak tersembunyi, tinggi atau rendah
Tidak di bumi, langit atau singgasana.
Ini kepastian, wahai kekasih:
Aku tersembunyi di kaibu orang yang beriman.
Jika kau mencari aku, carilah di kalbu-kalbu ini.”

TINDAKAN DAN KATA-KATA

Aku memberi orang-orang apa yang mereka inginkan.
Aku membawakan sajak karena mereka menyukainya sebagai hiburan.
Di negaraku, orang tidak menyukai puisi.
Sudah lama aku mencari orang yang menginginkan tindakan, tetapi mereka semua ingin kata-kata.
Aku siap menunjukkan tindakan pada kalian; tetapi tidak seorang pun akan menyikapinya.
Maka aku hadirkan padamu — kata-kata.
Ketidakpedulian yang bodoh akhirnya membahayakan, bagaimanapun hatinya satu denganmu.

RUMAH

Jika sepuluh orang ingin memasuki sebuah rumah, dan hanya sembilan yang menemukan jalan masuk, yang kesepuluh mestinya tidak mengatakan, “Ini sudah takdir Tuhan.”
Ia seharusnya mencari tahu apa kekurangannya.

BURUNG HANTU

Hanya burung bersuara merdu yang dikurung.
Burung hantu tidak dimasukkan sangkar

UPAYA

Ikat dua burung bersama.
Mereka tidak akan dapat terbang,
kendati mereka tahu memiliki empat sayap.

TUGAS INI

Kau mempunyai tugas untuk dijalankan. Lakukan yang lainnya, lakukan sejumlah kegiatan, isilah waktumu secara penuh, dan jika kau tidak menjalankan tugas ini, seluruh waktumu akan sia-sia.

KOMUNITAS CINTA

Komunitas Cinta tersembunyi diantara orang banyak;
Seperti orang baik dikelilingi orang jahat.

SEBUAH BUKU

Tujuan sebuah buku mungkin sebagai petunjuk. Namun kau dapat juga menggunakannya sebagai bantal; Kendati sasarannya adalah memberi pengetahuan, petunjuk, keuntungan.

TULISAN DI BATU NISAN JALALUDDIN AR-RUMI

Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.

1 komentar: